Lokasi: Kene Coffee House, Condongcatur, YogyakartaHari sabtu sore, sudah hampir tiba penghujung tahun.
Di salah satu kedai kopi yang damai di tengah (semakin sesaknya) keramaian kota gudeg, hari ini aku bertemu sahabat-sahabatku. Kedai kopi “Kene” berdesain modern, dengan detail susunan tanaman-tanaman hijau di antara rak-rak kayu dan dinding-dinding serta pintu kacanya, terasa sangat nyaman di sore hari. Semburat senja begitu cantiknya, kami nikmati dari salah satu pojok kedai ini. Kupesan Iced Kene Irish Coffee yang semakin sempurna ditemani playlist indie yang mereka mainkan melalui Harman-kardon dengan setelan volume standard. Sudah lama kami tidak ngopi seperti ini, dengan obrolan khas yang rasanya semakin berat—seberat beban hidup kami yang kian bertambah seiring menuanya usia di kota ini (hahaha). Kami berempat, bergantian menceritakan pengalaman masing-masing selama kurang-lebih setahun ini, tentang betapa beratnya fase kehidupan yang kami hadapi di rentang usia ini. Saling mendengarkan dan memberi sugesti menguatkan. “Ini terapi konseling kelompok, semoga berefek positif buat mental kita”, begitu kata salah satu sahabatku dengan gayanya yang jenaka, mencoba mencairkan suasana seperti biasa. Lagi, aku belajar banyak hari ini dari cerita-cerita mereka: SATU—Sejak lulus kuliah bulan Juli kemarin, dia sudah berkali-kali gagal di banyak lamaran kerja perusahaan, yang hampir seluruhnya gagal di tahap akhir tes (re: interview user). Mulai dari sebab-sebab yang masuk akal—karena dia yang saat itu memang belum sesuai dengan apa yang tengah mereka cari, hingga alasan-alasan konyol seperti background almamater, menjadi beberapa faktor kenapa sampai hari ini dia masih harus berjuang sebagai jobseeker. Dia bercerita, bagaimana lingkungannya yang terlalu berekspetasi tinggi kepadanya, menjadi beban baginya. Hingga tempo hari, di percakapan telepon dengan papanya, saat tengah mencurahkan segala kegalauan perihal perjuangan joobseeking yang melelahkan, dia diminta mencari uang Rp50.000 di dalam tas. Tanpa bertanya, dicarinya uang itu, tetapi ternyata tidak ada. “Cuma ada pulpen, buku, dan alat tulis lain di sini, pa”, katanya. “Begitulah hidup, nak. Seringkali apa yang telah kita usahakan, berbeda dengan kehendak-Nya. Maka berkhusnuzon lah kepada-Nya”. Kuingat diriku yang sama kurang-lebih setahun yang lalu, saat tengah merasakan kebimbangan yang sama dengannya. Kulihat mata-mata mereka satu persatu saat dia mengakhiri ceritanya. Aku pun merasakannya, mataku menghangat; kami semua berkaca-kaca. Orang tua adalah yang paling paham anaknya, tentu saja. DUA—Sebulan lebih sedikit lagi dia wisuda. Masih begitu menggebu-gebunya dia menceritakan pengalaman magangnya sebulan kemarin di negeri seberang. Kemudian dia bertanya, “Bagaimana caranya biar Aku yakin dengan rencanaku selanjutnya setelah lulus nanti? Mama ingin aku lanjut kuliah lagi, tapi papa maunya aku langsung mulai melamar kerja”. Kujawab, “coba istikharah”, karena sesungguhnya hanya dia yang tahu, mana yang benar-benar dia ingin dan butuhkan. Perihal biaya kuliah yang memang tidak sedikit nantinya, atau waktu untuk melanjutkan kuliah yang kurang pasti jika dia langsung bekerja, bisa dia diskusikan pelan-pelan dengan papa mamanya. Air matanya menetes tiba-tiba. “Komunikasi dengan papa akhir-akhir ini buruk sekali, sudah lama sejak terakhir kali kami terlibat pembicaraan yang berkualitas menurutku, bahkan untuk berharap papa datang ke upacara wisuda pun, aku tidak yakin. Mama selalu terdengar berusaha membuatku berpikir positif, untuk bisa memaklumi. Tapi aku juga benar-benar sedang butuh didengarkan”, Aku hanya bisa merangkulnya saat itu. Aku sangat memahaminya. Untuk bisa (akhirnya) berkomunikasi dengan orang tua (dengan sangat lumayan) seperti sekarang, sepengalamanku, juga butuh waktu yang panjang. Memang penuh drama warna warni, tapi pasti bisa. Orang tua pada akhirnya akan mengerti. TIGA—Sejak tiba dan memesan kopinya, dia tidak banyak bicara. Tetapi setelah sahabatku tadi bercerita tentang orang tuanya, dan kami bertanya, “Bagaimana denganmu?”, dia tiba-tiba menangis dan hanya menjawab, “kalian semua sama”. Kami tidak bertanya lebih lanjut mengapa dia tiba-tiba terisak saat itu. Sahabatku yang satu ini memang cenderung keras, tidak jarang, dia terlalu keras pada dirinya sendiri. Sepertinya ini diturunkan dari ibunya yang sangat keras. Itulah mengapa tuntutan orang tua dan beban pikiran dari diri sendiri, dihadapkan dengan (lagi-lagi) masalah komunikasi dalam keluarga, pastinya sangat berat baginya. Hidup di fase ini ternyata jauh lebih rumit dari yang pernah kubayangkan dulu, waktu aku masih sering bermimpi untuk kembali jadi anak-anak dengan segala keseruannya. Menjadi dewasa memang sulit.
0 Comments
Leave a Reply. |
Author:Retmi Ardilla Archives
March 2019
Categories |