I jumped out of my bed yesterday morning and thought it was March 12th already. It's now the date, but I'm now feeling there are no such significant changes about myself compared to yesterday. Today, on the day when I was born, exactly 24 years ago, I am still exactly what I was. Then I took myself back to the same day, back then a year ago, to see myself on my 23rd birthday when I made one of the biggest decisions in my life: moving away from the very-comfortable-zone city, Yogyakarta. I still remember how hard I cried that day thinking I'm not gonna see myself waking up every day enjoying the city which so many people fall in love with. I was freaking and wondering how much difficult it would be to live in a brand new surrounding with daily activities which obviously different from my comfort zone before, yet I knew it had been one of the things that I'm always passionate with. And so I got myself brought back even further before it, the latest-22-me, the toughest period of my quarter life's crisis and remembered how broken I was back then. I was in deep thought while preparing myself to start my daily activity until finally, I stopped when I saw myself's reflection—in a broken mirror. * * * I suddenly got my eyes blurred as with my tears. I'm not as broken as that mirror--any longer. I'm now very different from myself, a year ago. Now I know what I want, I feel grateful that I can do something I'm passionate with, and most importantly, I can consider myself as someone that can be a beneficial one for my surrounding. No, I know this is not the end, I'm still craving for more as I know what I have been doing until now is just a form of a beginning. I have to stick on this kind of feeling. I have to do more. Today is totally not the year-by-year birthday I usually get every single year. There are nothing such actually planned birthday surprises with the birthday songs completed with the cake and gifts as I have always been getting into the whole of my life. Nothing but the simplicity, with a heart filled with love from everywhere around me. Again, I'm so proud of myself that I'm now (finally) at peace with myself and accepting 'me' more than ever. Apart from the selfishness or self-centered-character, I'm so grateful of myself with everything I am now. Alhamdulillah, praise to Allah. Few words of love recorded: Also read hijrah-dan-zona-nyaman.html
0 Comments
Manusia memang sangat mengganggu. Sedikit-sedikit, mengeluh. Pagi kedinginan, siang kepanasan, malam panas dingin. Semuanya selalu bisa jadi keluhan. Sering sekali kudengar mereka mengeluhkan berbagai hal, mulai dari hal remeh-temeh, hingga sesuatu terkait keadaan yang sebelumnya mungkin sangat mereka inginkan, atau oleh orang lain merupakan hal yang begitu sulit didapatkan (yang seharusnya tentu malah disyukuri). Aku bingung jadinya, apa itu masih bisa disebut keluhan, atau justru mereka hanya sedang pamer?
Aku paham, kata Allah, ‘mengeluh’ memang sudah jadi salah satu sifat dasar manusia. Tapi kenapa melulu harus mengeluh? Sebab aku tahu betul, merekapun sebenarnya benci mendengar terlalu banyak keluhan. Selalu kudengar bisik-bisik mereka, mengeluh tentang sesamanya yang terlalu ribut dengan keluhan-keluhannya masing-masing. Betapa lucunya. 😓 Apalagi di era yang katanya ‘jaman now’ ini. Keluhan-keluhan tidak hanya menggema di setiap langit-langit rumah dan menggangguku sepanjang hari, melainkan juga di telepon pintar mereka. Kudengar, di dalam benda kecil canggih itu ada banyak ruang-ruang maya di mana mereka dapat dilihat oleh orang lain dari seluruh penjuru dunia. Sulit kubayangkan, setiap hari orang-orang saling berbagi keluhan di sana. Oh, sungguh benda kecil yang penuh dengan penyakit! Tidak heran, manusia begitu sulit berhenti dan justru semakin rajin mengeluhkan apa-apa, sebab melalui gawai tersebut, mereka terus saling mempengaruhi satu sama lain. Mengeluh, mengeluh sepanjang waktu. *** Sudahlah, aku ingin keluar dari sini. Mendingan kucari saja makanan di tumpukan sampah, di mana takkan kutemukan lagi gerombolan sombong yang terlalu bising dengan sampah-sampah keluhan dari mulut-mulut mereka itu. Lagipula jarang sekali mereka membagi tulang ikan padaku. Selain berisik, mereka juga pelit. Jika beruntung, semoga kutemukan sang kucing jantan nan tampan di sana, pastilah hidupku lebih bahagia dan terjamin dengannya. #iamosirita #30haribercerita #30hbc2019#30hbc1914 @30haribercerita Today, I got reminded (again) that I obviously can be gone anytime.
Certainly, without any notices As if the full of happiness sunday which easily went and changed with the very grumpy monday. There's absolutely no one can stave it off, let alone myself. Today, I wondered (again), how will I be remembered. Seorang wanita terbaring lemah di kasur busa berukuran single, di kamar kos standard dengan ukuran 3x4 meter, tempat tinggalnya.
Terdapat televisi tabung di atas meja kecitepat di sebelah kanan kasur, sedang menayangkan talkshow hipnotis yang terkenal dari salah satu Stasiun TV nasional. Tidak ada buku di meja kecil dengan beberapa rak itu, hanya ada beberapa benda yang tidak tertata: gunting, gunting kuku, sisir, sebungkus rokok yang isinya kira-kira tidak cukup setengahnya, beberapa nota pembelian, kwitansi pembayaran kamar kos tiga bulan terakhir dan uang kertas juga koin-koin yang berserakan, bungkus nasi goreng telur kemarin malam yang belum sempat dibuang, serta barang-barang kecil lainnya. Di seberang kasur, tepat di hadapan telapak kakinya, diletakkan sebuah lemari berpintu dua yang tingginya kira-kira tingginya sedagunya. Isi lemarinya, tentu saja acak-acakan. Sementara itu, di bagian kasurnya, seperti yang sudah bisa dibayangkan. Beberapa pakaian bekas pakai, obat-obat yang sudah keluar dari plastiknya, remote tv, telepon pintar Samsung produksi tahun 2012an, sarung bermotif kotak-kotak warna biru yang buluk, juga sepasang bantal dan guling. Semuanya tergeletak tidak beraturan. Tidak banyak yang yang bisa di deskripsikan dari keadaan kamarnya dengan perabotan super minimalis-tapi-berantakan itu. Sedikit bergeser ke bagian agak dalam kamar, sepetak kamar mandi kecil seukuran 1.5x1.5 meter bersebelahan dengan dapur kecil pribadi berukuran sama. Kamar mandi yang tidak rutin dibersihkan itu pengap sekali, hanya ada satu lubang persegi yang dibagi lagi menjadi empat lubang seukuran tiga jari, sebagai tempat sirkulasi udara. Di dapur mininya, hanya ada kira-kira tiga piring dan dua mangkuk, kemudian setumpuk sendok dan 3 gelas plastik di satu baskom berukuran sedang, dalam keadaan kering. Sepertinya minggu lalu terakhir kalinya dia mencuci perabot dapur. Lalu terdapat beberapa sachet kopi hitam instant dan mie instant, persediaan dapur anak kos pada umumnya, dalam versi lebih minimalis. Yang paling mencolok adalah satu kompor minyak tanah jadul berukuran kecil dengan wajan ukuran sedang berisi seperempat sisa rebusan air tempo hari. Wanita berusia 30-an itu hidup sendiri, belum bersuami. Sudah lebih dari dua minggu dia terpaksa minta izin dari tempat kerjanya—swalayan milik teman sebangkunya semasa SMA, sebab tengah sakit keras. “Gangguan jantung kronik akibat psikosomatis”, begitu kata dokter waktu dia berobat ke salah satu rumah sakit umum di kota kecil itu. *** Tiga hari berselang, wanita itu masih terbaring di kasur dengan posisi yang sama. Seorang perempuan paruh baya, ibunya—tiba-tiba mendobrak pintu yang ternyata tidak terkunci dengan wajah pucat. Semalam ibunya bermimpi aneh, tidak ada siapa-siapa selain bayangan anaknya—wanita itu—dan suara-suara yang tidak kalah aneh: “Katanya dia pencuri, gausah temenan sama dia”, “Katanya dia sombong loh, mending jangan deket-deket dia deh”, “Katanya hidup di sana ga enak, apa-apa susah”, “Katanya sekolah di situ sulit, udah mahal, seniornya kejam”, “Katanya tetangga kita galak, lebih baik jangan ngomong sama mereka”, “Katanya ayahmu malu denganmu, kamu sudah dewasa, harusnya jadi orang sukses”, “Katanya kerjaan yang itu susah, seleksinya aja berlapis-lapis”, “Katanya kamu diomongin tetangga, tidak apa-apa kerja seadanya, daripada jadi pengangguran”, “Katanya dia jahat”, “Katanya dia bau”, “Katanya produk itu bahaya”, “Katanya barang di toko itu mahal”, “Katanya makanan di situ gaenak”, “Katanya ini...” “Katanya itu...” “Katanya...” *** Katanya, wanita itu telah tiada sejak dua hari yang lalu... #30haribercerita #30hbc1902 @30haribercerita Lokasi: Kene Coffee House, Condongcatur, YogyakartaHari sabtu sore, sudah hampir tiba penghujung tahun.
Di salah satu kedai kopi yang damai di tengah (semakin sesaknya) keramaian kota gudeg, hari ini aku bertemu sahabat-sahabatku. Kedai kopi “Kene” berdesain modern, dengan detail susunan tanaman-tanaman hijau di antara rak-rak kayu dan dinding-dinding serta pintu kacanya, terasa sangat nyaman di sore hari. Semburat senja begitu cantiknya, kami nikmati dari salah satu pojok kedai ini. Kupesan Iced Kene Irish Coffee yang semakin sempurna ditemani playlist indie yang mereka mainkan melalui Harman-kardon dengan setelan volume standard. Sudah lama kami tidak ngopi seperti ini, dengan obrolan khas yang rasanya semakin berat—seberat beban hidup kami yang kian bertambah seiring menuanya usia di kota ini (hahaha). Kami berempat, bergantian menceritakan pengalaman masing-masing selama kurang-lebih setahun ini, tentang betapa beratnya fase kehidupan yang kami hadapi di rentang usia ini. Saling mendengarkan dan memberi sugesti menguatkan. “Ini terapi konseling kelompok, semoga berefek positif buat mental kita”, begitu kata salah satu sahabatku dengan gayanya yang jenaka, mencoba mencairkan suasana seperti biasa. Lagi, aku belajar banyak hari ini dari cerita-cerita mereka: SATU—Sejak lulus kuliah bulan Juli kemarin, dia sudah berkali-kali gagal di banyak lamaran kerja perusahaan, yang hampir seluruhnya gagal di tahap akhir tes (re: interview user). Mulai dari sebab-sebab yang masuk akal—karena dia yang saat itu memang belum sesuai dengan apa yang tengah mereka cari, hingga alasan-alasan konyol seperti background almamater, menjadi beberapa faktor kenapa sampai hari ini dia masih harus berjuang sebagai jobseeker. Dia bercerita, bagaimana lingkungannya yang terlalu berekspetasi tinggi kepadanya, menjadi beban baginya. Hingga tempo hari, di percakapan telepon dengan papanya, saat tengah mencurahkan segala kegalauan perihal perjuangan joobseeking yang melelahkan, dia diminta mencari uang Rp50.000 di dalam tas. Tanpa bertanya, dicarinya uang itu, tetapi ternyata tidak ada. “Cuma ada pulpen, buku, dan alat tulis lain di sini, pa”, katanya. “Begitulah hidup, nak. Seringkali apa yang telah kita usahakan, berbeda dengan kehendak-Nya. Maka berkhusnuzon lah kepada-Nya”. Kuingat diriku yang sama kurang-lebih setahun yang lalu, saat tengah merasakan kebimbangan yang sama dengannya. Kulihat mata-mata mereka satu persatu saat dia mengakhiri ceritanya. Aku pun merasakannya, mataku menghangat; kami semua berkaca-kaca. Orang tua adalah yang paling paham anaknya, tentu saja. DUA—Sebulan lebih sedikit lagi dia wisuda. Masih begitu menggebu-gebunya dia menceritakan pengalaman magangnya sebulan kemarin di negeri seberang. Kemudian dia bertanya, “Bagaimana caranya biar Aku yakin dengan rencanaku selanjutnya setelah lulus nanti? Mama ingin aku lanjut kuliah lagi, tapi papa maunya aku langsung mulai melamar kerja”. Kujawab, “coba istikharah”, karena sesungguhnya hanya dia yang tahu, mana yang benar-benar dia ingin dan butuhkan. Perihal biaya kuliah yang memang tidak sedikit nantinya, atau waktu untuk melanjutkan kuliah yang kurang pasti jika dia langsung bekerja, bisa dia diskusikan pelan-pelan dengan papa mamanya. Air matanya menetes tiba-tiba. “Komunikasi dengan papa akhir-akhir ini buruk sekali, sudah lama sejak terakhir kali kami terlibat pembicaraan yang berkualitas menurutku, bahkan untuk berharap papa datang ke upacara wisuda pun, aku tidak yakin. Mama selalu terdengar berusaha membuatku berpikir positif, untuk bisa memaklumi. Tapi aku juga benar-benar sedang butuh didengarkan”, Aku hanya bisa merangkulnya saat itu. Aku sangat memahaminya. Untuk bisa (akhirnya) berkomunikasi dengan orang tua (dengan sangat lumayan) seperti sekarang, sepengalamanku, juga butuh waktu yang panjang. Memang penuh drama warna warni, tapi pasti bisa. Orang tua pada akhirnya akan mengerti. TIGA—Sejak tiba dan memesan kopinya, dia tidak banyak bicara. Tetapi setelah sahabatku tadi bercerita tentang orang tuanya, dan kami bertanya, “Bagaimana denganmu?”, dia tiba-tiba menangis dan hanya menjawab, “kalian semua sama”. Kami tidak bertanya lebih lanjut mengapa dia tiba-tiba terisak saat itu. Sahabatku yang satu ini memang cenderung keras, tidak jarang, dia terlalu keras pada dirinya sendiri. Sepertinya ini diturunkan dari ibunya yang sangat keras. Itulah mengapa tuntutan orang tua dan beban pikiran dari diri sendiri, dihadapkan dengan (lagi-lagi) masalah komunikasi dalam keluarga, pastinya sangat berat baginya. Hidup di fase ini ternyata jauh lebih rumit dari yang pernah kubayangkan dulu, waktu aku masih sering bermimpi untuk kembali jadi anak-anak dengan segala keseruannya. Menjadi dewasa memang sulit. Perjalanan selalu berhasil membawaku pergi.
Jauh, melampaui navigasi sang pengemudi. Dari balik jok kusir persneling yang membawaku meninggalkan desa, meninggalkan ayah dan ibu tersayang. Lalu di perut burung besi yang membawaku menyeberang ke negeri orang di pulau seberang. Kemudian pada salah satu celah delman raksasa antar kota yang dengan garang melaju, membawaku dari ramahnya kota keraton kepada culasnya ibukota yang garang. Juga di antara desing lokomotif di salah satu sudut gerbong di senja hari, di perjalanan menuju hiruk pikuk kota untuk petualangan selanjutnya. Dengan andil latar musik nan syahdu dari telepon seluler lewat tali tembaganya yang menyumbat kedua telinga, Aku dibawa pergi semakin jauh. Jauh, menuju berbagai khayalan terliar di dalam diri. Seringkali perjalanan-perjalanan itu menenangkan, melegakan hati. Namun akhir-akhir ini menjadi kontemplasi yang berat. Terasa sulit, rasanya menyesakkan sekali. Tapi, Aku tahu, aku tidak akan berhenti. -Dibuat kembali, dari Oktober 2017 Catatan Pengangguran Baru yang (hampir) Tidak Baru Lagi فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الأرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (١٠) “Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Jumu’ah: 10) إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنتُمْ ۖ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ ۚ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا ۚ فَأُولَٰئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ ۖوَسَاءَتْ مَصِيرًا Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya : “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?.” Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah).” Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?.” Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. [An Nisaa’ (4): 97] Hari ini Aku resmi pindahan. Rumah kontrakanku selama kurang lebih setahun ini akhirnya kami tinggalkan. Lebih tepatnya, mereka (Adik-adikku) tinggalkan. Mereka akhirnya pindah ke tempat yang baru, tanpa Aku yang sudah lebih dulu meninggalkan Jogja sebulan yang lalu. Saat ini, sudah hampir dua bulan Aku tinggal di Pare. 12 Maret lalu tepat di hari ulangtahunku, Jogja (akhirnya) kutinggalkan. “Rasanya geli-geli lyke butterfly in stomach went Knock-knock begitu kaan?”, begitu kata Aulia (I really need to write about this girl later. I miss her so much!) hari itu. Aku penasaran tentang bagaimana nantinya hari-hariku yang baru di sini, I was really excited about it, yet I was crying so hard at that day. Jogja memang se-nyaman itu bagiku. Bahkan hari ini, ketika mereka pindahan, aku masih se-mellow ini! Anyways, seperti judulnya, tulisan kali ini sebenarnya adalah tentang curhatan seorang freshgraduate yang hampir ga fresh lagi, LOL. FYI, Aku lulus kuliah pada akhir Bulan Juli tahun lalu, jadi silakan dihitung sendiri he he he. Akhir-akhir ini—terutama setelah lulus kuliah, Aku selalu dihantui kalimat “keluar dari zona nyaman”. Kita semua bukannya tidak tahu atau tidak paham, hanya saja kebanyakan tidak mau benar-benar melakukannya. Padahal kita perlu . Melihat kebiasan diri sendiri dan orang-orang di sekitarku, beberapa hal-hal sederhana yang seringkali melintas dibenakku misalnya: Kalau biasanya mainnya ke mall dan cafe, kenapa tidak sekali-kali pergi ke tempat yang jarang dikunjungi, tapi lebih berfaedah, museum misalnya? Kalau biasanya mainnya sama si itu itu aja, kenapa tidak ikut komunitas (yang positif) dan berteman dengan orang-orang baru? Kalau biasanya keramaian terasa tidak nyaman, kenapa tidak coba dilawan dengan pergi ke tempat-tempat ramai, festival/pameran seni, misalnya? Kalau biasanya scrolling sosmed terlalu nyaman dan menyita waktu, kenapa tidak sekali-kali logout agar terbebas sejenak dari ratusan notifikasi yang mengganggu interaksi yang sebenarnya dengan orang-orang di sekitar? Kenapa tidak coba keluar dari zona nyaman? Kata orang-orang, kehidupan setelah lulus kuliah adalah pintu menuju kehidupan yang sebenarnya. Mungkin, antara masa-masa berkuliah dengan segala kesibukannya dan kehidupan semester akhir yang melelahkan membuatku 'keenakan' setelah lulus. Seakan-akan akhirnya aku bisa beristirahat, leha-leha, selo dari jadwal yang padat. No more rapat tengah malam, no more deadline skripsi dan segala embel-embelnya. Seperti balas dendam pasca kelulusan; seperti buka puasa yang kekenyangan sampai-sampai sholat magribnya kesusahan. Karena memang seharusnya, ada banyak pelajaran yang bisa Aku dapat, kalau setidaknya Aku lebih berani keluar dari zona nyamanku saat itu. Selama kurang-lebih 6 bulanan setelah lulus kuliah, Aku sempat bolak balik Jogja-Ibukota selama beberapa bulan untuk wawancara kerja. Dari semua proses itu Alhamdulillah Aku selalu gagal di setiap tahapan tes terakhir. Awalnya Aku biasa saja, gagal mah wajar, itu bagian dari proses, cuy. tetep semangat aja. Sampai akhirnya Aku tiba di fase "capek". Aku masih ingat, saat itu aku baru pulang dari salah satu wawancara kerja, and i found myself desperately lose all my confidence. Aku telepon mama sambil menangis, mama mengerti bagaimana perasaanku saat itu. Kata mama, “banyak kok yang dapat kerja baru beberapa tahun setelah lulus. Kebetulan aja teman-teman dekat Dilla pada mau langsung kerja”. Saat itu, aku benar-benar merasa “capek”. Aku mau berhenti dulu, istirahat, merenung--mungkin lebih tepatnya, menikmati masa-masa menjadi pengangguran yang sebenarnya. Padahal kalau dipikir-pikir, sebelum itu juga sama saja. Kalau dihitung-hitung, rasanya saat itu aku hanya baru wawancara di 3-4 instansi saja, karena memang masih pilih-pilih mau melamar di mana. Jadinya, hari-hariku setelah itu kuhabiskan dengan sepanjang hari di rumah (kontrakan), malas-malasan di kamar, dan seterusnya. Saat itu orang-orang di sekitarku sepertinya sempat menganggapku stress, lol. Fyi, Papa-Mama dari dulu bilang "Setelah lulus Dilla gausah langsung pulang rumah dulu. Di Jawa saja, cari apa yang Dilla mau, biar dekat adek-adek juga sambil jagain mereka". Tapi waktu itu sempat bahkan menyuruhku pulang. Hmm, sepertinya aku sangat terlihat frustrasi saat itu. Entahlah. Sejujurny aku memang tidak benar-benar menikmatinya. Well, saat itu aku benar-benar merenung. Apa sebenarnya yang salah dariku. Apa mungkin Aku belum benar-benar memilih untuk langsung bekerja, makanya Aku selalu kurang maksimal di setiap tes yang aku ikuti? Atau mungkin melamar kerja di instansi pemerintahan itu bukan tujuanku yang sebenarnya, hanya karena Papa yang ingin sekali anaknya yang lulusan HI ini kerja di sana. Jadi, apa yang sebenarnya Aku mau? Kuliah lagi? Mungkin iya, tapi aku juga sepertinya tidak begitu percaya diri, lebih-lebih untuk saat ini. Nikah? Oh well, tentang yang satu ini lebih abu-abu lagi (Hahaha). Jadi, apa sebenarnya yang aku mau? Sampai akhirnya aku sadar, bahwa salah satu alasan kenapa rasanya Aku stuck di posisi yang sama pada saat itu, adalah karena Aku terlalu takut. Sekalipun Aku tahu, apa yang ingin Aku lakukan pada saat itu, Aku terlalu nyaman dengan posisiku. Aku semakin sadar bahwa kehidupan yang sebenarnya memang sekejam hutan rimba. Aku harus terus bergerak agar bisa bertahan hidup, agar tidak ketinggalan dari yang lainnya--keluar dari zona nyaman. Kalimat ini benar-benar menggangguku setiap harinya. Aku harus keluar dari zona nyaman. Aku sadar, bahwa sudah saatnya Aku menemukan sisi diriku yang lainnya. Mencari tantangan baru dengan melakukan hal-hal diluar kebiasaanku sebelumnya, Aku perlu ke tempat-tempat baru, belajar hal-hal baru. Aku perlu melihat orang-orang baru lebih banyak lagi setiap harinya. Aku perlu jadi lebih baik lagi dari sebelumnya, Aku harus “berhijrah”. Saat itu, tepat saat pembukaan pendaftaran Indonesia Mengajar. Aku pikir, kenapa tidak dicoba? Sepertinya cocok untukku yang sedang butuh tantangan baru, cara yang tepat buat menemukan jati diri. He he. Sepertinya seru, semacam KKN lagi, tapi lebih menantang. Intinya bisa ngabdi, Biar bisa lebih bersyukur. Begitu bersemangatnya Aku saat itu, entah mengapa Aku serasa baru menemukan calon mainan baru. Aku baru sadar, sepertinya salah satu hal yang rasanya selalu aku nikmati adalah sharing, mengajar, bermain. Lebih-lebih ketika aku sharing tentang hal ini ke salah satu sahabatku, he said that he saw something inside me which I never seen it in myself before. Dan jalan menuju ke sana adalah mengabdi—Lewat Indonesia mengajar adalah salah satu cara paling cocok untuk itu. Aku masih ingat sekali betapa excited nya aku hari itu. Sayangnya, Mama tidak setuju aku mendaftar. Singkatnya, tanpa negosiasi ba bi bu, Aku batal mendaftar. Kalau Mama sudah bilang "tidak" sejak awal, Aku tidak bisa memaksa. Aku yakin Mama selalu punya insting yang kuat tentang keselamatan anaknya. Long story hort, entah mengapa aku kepikiran, sepertinya Aku butuh ke Pare. Belajar Bahasa Inggris lagi, hitung-hitung nambah skor TOEFL, dan mungkin belajar IELTS. Satu hal yang lebih penting dari itu adalah tentang 'meninggalkan' Jogja yang sudah terlanjur nyaman bagiku. Terdengar seperti pelarian memang. Ya memang pelarian. Bagaimanapun Aku butuh lari dari kota tanpa harus pulang ke kampung halaman. Waktu aku minta izin, papa berulang-ulang bertanya kalimat yang sama, “Dilla betulan mau ke Pare? Pare itu beda sama Jogja, sama saja kayak Buol”. Aku hanya senyum-senyum meyakinkan papa saat itu. Aku memang ingin pergi dari Jogja. Ternyata Allah membawaku pada jalan ini. Melalui salah satu sahabat baikku, Aku diajak mendaftar ke salah satu lembaga terbaik di Pare untuk program khususnya. Beasiswa belajar sekligus jadi pengajar di sana, dengan kontrak selama 9 bulan. Aku tidak hanya sekedar kursus, tapi nantinya bisa mengajar. Tentu saja, selain karena kesempatan mengajar itu, hal yang paling penting dan menarik buat saya adalah bahwa semuanya gratis! Akhirnya, setelah melalui sejumlah rangkaian tes, bersaing dengan lebih dari 200 orang pendaftar, Aku akhirnya menjadi salah satu dari 29 orang yang terpilih. Alhamdulillah Aku tersesat di jalan yang benar (Aku harus menulis khusus cerita tentang ini nanti). Selama hampir 2 bulan di Pare, (akhirnya) bertemu orang-orang yang baru, belajar lagi dengan rutinitas sehari-hari yang benar-benar baru, semakin membuatku sadar bahwa kita selalu butuh keluar dari zona nyaman. Bumi Allah terlalu luas, untuk kita hanya menetap di salah satu bagian kecilnya saja. Pada titik yang lain, bahkan di tempat yang sama pun, kita butuh untuk terus menemukan batasan-batasan baru dalam diri kita, agar kita bisa terus "berhijrah" menjadi semakin baik dari waktu ke waktu. Pada akhirnya, hakikat "hijrah" yang sebenarnya adalah bagaimana semakin hari Aku berusaha memaksa diriku untuk mengingat-Nya, menyadari bahwa apa yang kita jalani adalah berdasar pada kehendak-Nya, maka libatkanlah Dia, memohonlah kepada-Nya, mendekatkan dirilah kepada-Nya. -Pare, Mei 2018 "Because we do complain too much about this life" Beberapa waktu terakhir, aku terus terganggu dengan pikiran-pikiran tentang yang satu ini. Don't know how to tell this story, but it is really heartbreaking for me. I couldn't help crying every time I got reminded about it, tbh. So I decided to write this. I definitely have to write about this story, at least as a reflection of myself, so that I can worry less about this. About him.
Tentang seorang sahabat. Sahabat baik, partner diskusi yang asyik, juga cerdas. Dia anak lelaki sulung di keluarganya. Namanya Wira. Di usia yang ke 18, tepat setelah kelulusan SMA, dengan hiruk pikuk tes masuk universitas yang melelahkan, Wira harus menghadapi apa yang menurutku tidak semua dari kita bisa melewati kondisi seperti itu sekuat dia... Saat itu Wira siap untuk ikut tes masuk di salah satu kampus pilihannya di Kota Pelajar—yang jaraknya dua pulau di seberang kampung halaman. Selain memang pilihannya untuk merantau ke kota ini, itu juga jadi rencana papanya sejak beberapa tahun silam. Singkat cerita, Wira telah mendaftar untuk tes bersama masuk PTN (tentu saja dengan PTN di Kota pelajar sebagai pilihan pertamanya), juga tes tulis di beberapa PTS di kota tersebut—dengan hanya satu pilihan jurusan yang paling dia mau: Teknik sipil—Jurusan impian papanya. Anyways, kita pasti tahu, drama klasik orang tua-anak perkara pilihan jurusan kuliah bla bla bla, apalagi untuk anak sulung, biasanya dramanya lebih berbelit-belit. Tapi untuk kasus Wira, berbeda. Wira memilih jurusan itu sendiri, bukan karena paksaan orang tuanya. Tapi memang, Wira sangat mirip dengan papanya. Saat itu, papanya sakit keras dan tengah dirawat di ICU. Wira bahkan berangkat untuk ikut tes waktu keadaan papanya semakin lemah dan harus dirujuk ke kota sebelah untuk perawatan lebih intensif. I have to say, he is really tough person. I could repeat this as much as I can, karena memang dia sekuat itu. Dengan kondisi demikian, di usianya yang baru segitu, Wira sanggup untuk terlihat sangat-sangat tenang. Walaupun aku tahu, Wira sebenarnya selalu tidak bisa tidur setiap harinya. Terlalu berat yang harus dia pikirkan, memang. Baru hari ke sekian Wira di kota ini, tiba-tiba mamanya menelepon bahwa Wira harus pulang—berarti Wira belum tentu bisa ikut tes tulis yang jadwalnya masih seminggu lagi. Mamanya memang tidak berkata banyak, tapi Wira tahu betul apa artinya itu: kondisi Papanya makin parah. Wira pulang keesokan harinya dengan flight sore. Alhamdulillah, pagi itu Wira telah lulus tes komputer/ Computer Based Test (CBT) untuk jurusan teknik sipil di salah satu PTS pilihannya. Bagi orang-orang paling, "ah PTS doang". Tapi saya tahu betul, betapa bahagianya Wira saat itu. Apalagi, beberapa temannya malah tidak lulus di tes yang sama, padahal telah lebih dulu ikut tes dan bahkan lebih dari sekali, tapi belum juga diterima. PTS itu memang salah satu PTS yang punya nama besar di Indonesia. Alhamdulillah. Yang paling penting adalah, itu impian papanya. Setidaknya dia punya oleh-oleh kabar baik yang sangat ditunggu-tunggu papanya. Salah satu yang membuatku sangat terharu hari itu adalah, karena papanya dulu termasuk mereka yang (maaf) 'kurang beruntung', sehingga tidak sempat merasakan bangku perkuliahan. Pasti bahagia sekali mendengar kabar bahwa anaknya diterima kuliah di jurusan impian. Sore itu, Wira kembali ke keluarganya, di rumah sakit di mana papanya dirawat. Tidak sempat istirahat, langsung saja Wira gantikan mamanya, duduk di samping papanya. Menyampaikan kabar baik itu. Walaupun hanya bisa mengangguk, tersenyum dan meneteskan air mata, mereka semua tahu betapa bahagia papanya mendengar kabar tersebut saat itu. I can imagine that. ...Kemudian, tidak lebih dari 3 jam setelah itu, papanya menghembuskan napas terakhir. Inna lillahi wa inna ilaihi rojiuun... Tengah malam kira-kira pukul 12.35 hari itu, Wira menelepon dengan suara terisak. Mengabari kami tentang kepergian papanya. I still remember how hurt it was, when I heard he cried. a lot. I still remember how it feels. We all cried a lot that night. Wira, di usianya yang ke 18, baru lulus SMA, di tengah hiruk pikuk tes masuk universitas yang melelahkan. Dia harus kehilangan papanya. Satu-dua minggu setelah itu, Wira masih di kampung halaman. Melewatkan beberapa jadwal ujian tes masuk PTS dan PTN yang sudah terdaftar namanya disana. "Saya akan masuk ke Universitas yang Papa masih sempat tersenyum ketika dengar bahwa saya diterima di situ", Begitu katanya. "Saya akan kuliah di sana". I still remember how hard he cried that night. Tapi itu pertama dan terakhir kali aku mendengarnya menangis, sampai hari ini. Padahal menurutku, rasanya cobaan yang harus diterima Wira terlalu berlebihan, terlalu bertubi-tubi, terlalu berat untuk ukuran remaja seumurannya. "Udah cukup saya nangisnya", begitu katanya ketika kami tanya kenapa dia bisa-bisanya terlihat begitu tenang. *** Sudah 6 bulan berlalu, dan Dia hampir tiba di akhir semester pertamanya sebagai seorang mahasiswa teknik sipil di kota pelajar. ...Kami berangkat dari kosannya malam itu. Driver taksi online yang mengangkut kami sempat nyeletuk "mau minggat ya mas, mbak?", waktu melihat barang-barangnya saat dimasukkan ke bagasi mobil. Wira, di usianya yang ke 18, baru saja menikmati betapa excited nya semester pertama di kampus pilihan dengan jurusan impiannya—akan pindah, kembali ke kampung halaman. Kuliah di sana. Tetap di jurusan yang sama, mungkin. We never know. Intinya, dia harus meninggalkan kota pelajar. Meninggalkan salah satu Impian papanya. Financial issues, ironis memang. Mau tidak mau Wira harus "mengalah" untuk hal ini. Mamanya yang sekarang sendirian, dengan Wira dan adiknya yang tahun depan akan masuk SMA membuatnya terpaksa harus memilih. Tidak hanya sebatas mengencangkan ikat pinggang, tapi membantu meringankan beban mamanya. Maka pulang ke kempung halaman adalah solusinya. Kuliah di sana, di mana ada banyak keluarga yang masih bisa membantu, sembari bekerja, tentunya. Keluarga besar ternyata sudah mendiskusikan pilihan yang pada akhirnya 'harus' Wira pilih itu. Hari itu, dia meninggalkan kami. Meninggalkan Kota Pelajar yang menjadi kota rantau idamannya. I know him so well, betapa bangga dan bahagianya nya Wira bisa berkuliah di kota ini. Bagi orang-orang seperti kami, merantau ke Tanah Jawa adalah kebanggaan besar. Dan Wira terpaksa harus melepaskannya. Sesungguhnya aku benar-benar tidak ingin meneteskan air mata lagi saat mengantarnya ke bandara, tidak di depannya. Tapi aku benar-benar tidak bisa menahannya, meskipun otakku sekuat tenaga berusaha agar kelenjar air mata bisa mengalah setidaknya untuk saat itu. Begitupun adik-adikku, juga sahabat-sahabat Wira yang ikut mengantar. Aku tahu Wira pun sama, makanya dia benar-benar tidak menoleh sama sekali saat itu, tidak sampai dia benar-benar masuk dan memastikan kami tidak melihat jelas wajahnya kecuali lambaian tangannya dari jauh. Again, remember about him always breaks my heart. It hurts me, so much. Dan melihat Dia yang sangat-sangat tenang dengan semua itu, it even hurts me more. Really. Bukan karena aku mengasihani Wira atau menyalahkan keadaan, tidak. Wira adalah orang yang tahu apa yang dia mau, dan siap menerima konsekuensi untuk itu. So I don't have to worry about him, actually. Entah karena aku yang mengaggap Wira masih terlalu muda, atau karena aku merasa tidak punya kesempatan memberikan bantuan apapun untuk posisinya, mungkin juga karena aku merasa ditampar, betapa kurang bersyukurnya aku yang terlalu sering mengeluh selama ini. Allah telah berencana. Dia tidak akan memberikan cobaan melebihi batas kemampuan hambanya. We knew it. Bahwa beberapa hal dalam hidup ini berada diluar kendali kita. Seberat apapun itu, yang kita harus lakukan adalah menerimanya dengan tenang, sehingga setidaknya kita dapat berpikir jernih tidak hanya dari satu atau dua sudut pandang saja, dengan itu kita yakin punya keputusan yang bijak. Semoga kita semua termasuk mereka yang selalu tenang, dan dapat menghadapi segala cobaan-Nya dengan tabah dan bertawakkal. aamiin. -Yogyakarta, November 2017 |
Author:Retmi Ardilla Archives
March 2019
Categories |