Catatan Pengangguran Baru yang (hampir) Tidak Baru Lagi فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الأرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (١٠) “Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Jumu’ah: 10) إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنتُمْ ۖ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ ۚ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا ۚ فَأُولَٰئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ ۖوَسَاءَتْ مَصِيرًا Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya : “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?.” Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah).” Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?.” Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. [An Nisaa’ (4): 97] Hari ini Aku resmi pindahan. Rumah kontrakanku selama kurang lebih setahun ini akhirnya kami tinggalkan. Lebih tepatnya, mereka (Adik-adikku) tinggalkan. Mereka akhirnya pindah ke tempat yang baru, tanpa Aku yang sudah lebih dulu meninggalkan Jogja sebulan yang lalu. Saat ini, sudah hampir dua bulan Aku tinggal di Pare. 12 Maret lalu tepat di hari ulangtahunku, Jogja (akhirnya) kutinggalkan. “Rasanya geli-geli lyke butterfly in stomach went Knock-knock begitu kaan?”, begitu kata Aulia (I really need to write about this girl later. I miss her so much!) hari itu. Aku penasaran tentang bagaimana nantinya hari-hariku yang baru di sini, I was really excited about it, yet I was crying so hard at that day. Jogja memang se-nyaman itu bagiku. Bahkan hari ini, ketika mereka pindahan, aku masih se-mellow ini! Anyways, seperti judulnya, tulisan kali ini sebenarnya adalah tentang curhatan seorang freshgraduate yang hampir ga fresh lagi, LOL. FYI, Aku lulus kuliah pada akhir Bulan Juli tahun lalu, jadi silakan dihitung sendiri he he he. Akhir-akhir ini—terutama setelah lulus kuliah, Aku selalu dihantui kalimat “keluar dari zona nyaman”. Kita semua bukannya tidak tahu atau tidak paham, hanya saja kebanyakan tidak mau benar-benar melakukannya. Padahal kita perlu . Melihat kebiasan diri sendiri dan orang-orang di sekitarku, beberapa hal-hal sederhana yang seringkali melintas dibenakku misalnya: Kalau biasanya mainnya ke mall dan cafe, kenapa tidak sekali-kali pergi ke tempat yang jarang dikunjungi, tapi lebih berfaedah, museum misalnya? Kalau biasanya mainnya sama si itu itu aja, kenapa tidak ikut komunitas (yang positif) dan berteman dengan orang-orang baru? Kalau biasanya keramaian terasa tidak nyaman, kenapa tidak coba dilawan dengan pergi ke tempat-tempat ramai, festival/pameran seni, misalnya? Kalau biasanya scrolling sosmed terlalu nyaman dan menyita waktu, kenapa tidak sekali-kali logout agar terbebas sejenak dari ratusan notifikasi yang mengganggu interaksi yang sebenarnya dengan orang-orang di sekitar? Kenapa tidak coba keluar dari zona nyaman? Kata orang-orang, kehidupan setelah lulus kuliah adalah pintu menuju kehidupan yang sebenarnya. Mungkin, antara masa-masa berkuliah dengan segala kesibukannya dan kehidupan semester akhir yang melelahkan membuatku 'keenakan' setelah lulus. Seakan-akan akhirnya aku bisa beristirahat, leha-leha, selo dari jadwal yang padat. No more rapat tengah malam, no more deadline skripsi dan segala embel-embelnya. Seperti balas dendam pasca kelulusan; seperti buka puasa yang kekenyangan sampai-sampai sholat magribnya kesusahan. Karena memang seharusnya, ada banyak pelajaran yang bisa Aku dapat, kalau setidaknya Aku lebih berani keluar dari zona nyamanku saat itu. Selama kurang-lebih 6 bulanan setelah lulus kuliah, Aku sempat bolak balik Jogja-Ibukota selama beberapa bulan untuk wawancara kerja. Dari semua proses itu Alhamdulillah Aku selalu gagal di setiap tahapan tes terakhir. Awalnya Aku biasa saja, gagal mah wajar, itu bagian dari proses, cuy. tetep semangat aja. Sampai akhirnya Aku tiba di fase "capek". Aku masih ingat, saat itu aku baru pulang dari salah satu wawancara kerja, and i found myself desperately lose all my confidence. Aku telepon mama sambil menangis, mama mengerti bagaimana perasaanku saat itu. Kata mama, “banyak kok yang dapat kerja baru beberapa tahun setelah lulus. Kebetulan aja teman-teman dekat Dilla pada mau langsung kerja”. Saat itu, aku benar-benar merasa “capek”. Aku mau berhenti dulu, istirahat, merenung--mungkin lebih tepatnya, menikmati masa-masa menjadi pengangguran yang sebenarnya. Padahal kalau dipikir-pikir, sebelum itu juga sama saja. Kalau dihitung-hitung, rasanya saat itu aku hanya baru wawancara di 3-4 instansi saja, karena memang masih pilih-pilih mau melamar di mana. Jadinya, hari-hariku setelah itu kuhabiskan dengan sepanjang hari di rumah (kontrakan), malas-malasan di kamar, dan seterusnya. Saat itu orang-orang di sekitarku sepertinya sempat menganggapku stress, lol. Fyi, Papa-Mama dari dulu bilang "Setelah lulus Dilla gausah langsung pulang rumah dulu. Di Jawa saja, cari apa yang Dilla mau, biar dekat adek-adek juga sambil jagain mereka". Tapi waktu itu sempat bahkan menyuruhku pulang. Hmm, sepertinya aku sangat terlihat frustrasi saat itu. Entahlah. Sejujurny aku memang tidak benar-benar menikmatinya. Well, saat itu aku benar-benar merenung. Apa sebenarnya yang salah dariku. Apa mungkin Aku belum benar-benar memilih untuk langsung bekerja, makanya Aku selalu kurang maksimal di setiap tes yang aku ikuti? Atau mungkin melamar kerja di instansi pemerintahan itu bukan tujuanku yang sebenarnya, hanya karena Papa yang ingin sekali anaknya yang lulusan HI ini kerja di sana. Jadi, apa yang sebenarnya Aku mau? Kuliah lagi? Mungkin iya, tapi aku juga sepertinya tidak begitu percaya diri, lebih-lebih untuk saat ini. Nikah? Oh well, tentang yang satu ini lebih abu-abu lagi (Hahaha). Jadi, apa sebenarnya yang aku mau? Sampai akhirnya aku sadar, bahwa salah satu alasan kenapa rasanya Aku stuck di posisi yang sama pada saat itu, adalah karena Aku terlalu takut. Sekalipun Aku tahu, apa yang ingin Aku lakukan pada saat itu, Aku terlalu nyaman dengan posisiku. Aku semakin sadar bahwa kehidupan yang sebenarnya memang sekejam hutan rimba. Aku harus terus bergerak agar bisa bertahan hidup, agar tidak ketinggalan dari yang lainnya--keluar dari zona nyaman. Kalimat ini benar-benar menggangguku setiap harinya. Aku harus keluar dari zona nyaman. Aku sadar, bahwa sudah saatnya Aku menemukan sisi diriku yang lainnya. Mencari tantangan baru dengan melakukan hal-hal diluar kebiasaanku sebelumnya, Aku perlu ke tempat-tempat baru, belajar hal-hal baru. Aku perlu melihat orang-orang baru lebih banyak lagi setiap harinya. Aku perlu jadi lebih baik lagi dari sebelumnya, Aku harus “berhijrah”. Saat itu, tepat saat pembukaan pendaftaran Indonesia Mengajar. Aku pikir, kenapa tidak dicoba? Sepertinya cocok untukku yang sedang butuh tantangan baru, cara yang tepat buat menemukan jati diri. He he. Sepertinya seru, semacam KKN lagi, tapi lebih menantang. Intinya bisa ngabdi, Biar bisa lebih bersyukur. Begitu bersemangatnya Aku saat itu, entah mengapa Aku serasa baru menemukan calon mainan baru. Aku baru sadar, sepertinya salah satu hal yang rasanya selalu aku nikmati adalah sharing, mengajar, bermain. Lebih-lebih ketika aku sharing tentang hal ini ke salah satu sahabatku, he said that he saw something inside me which I never seen it in myself before. Dan jalan menuju ke sana adalah mengabdi—Lewat Indonesia mengajar adalah salah satu cara paling cocok untuk itu. Aku masih ingat sekali betapa excited nya aku hari itu. Sayangnya, Mama tidak setuju aku mendaftar. Singkatnya, tanpa negosiasi ba bi bu, Aku batal mendaftar. Kalau Mama sudah bilang "tidak" sejak awal, Aku tidak bisa memaksa. Aku yakin Mama selalu punya insting yang kuat tentang keselamatan anaknya. Long story hort, entah mengapa aku kepikiran, sepertinya Aku butuh ke Pare. Belajar Bahasa Inggris lagi, hitung-hitung nambah skor TOEFL, dan mungkin belajar IELTS. Satu hal yang lebih penting dari itu adalah tentang 'meninggalkan' Jogja yang sudah terlanjur nyaman bagiku. Terdengar seperti pelarian memang. Ya memang pelarian. Bagaimanapun Aku butuh lari dari kota tanpa harus pulang ke kampung halaman. Waktu aku minta izin, papa berulang-ulang bertanya kalimat yang sama, “Dilla betulan mau ke Pare? Pare itu beda sama Jogja, sama saja kayak Buol”. Aku hanya senyum-senyum meyakinkan papa saat itu. Aku memang ingin pergi dari Jogja. Ternyata Allah membawaku pada jalan ini. Melalui salah satu sahabat baikku, Aku diajak mendaftar ke salah satu lembaga terbaik di Pare untuk program khususnya. Beasiswa belajar sekligus jadi pengajar di sana, dengan kontrak selama 9 bulan. Aku tidak hanya sekedar kursus, tapi nantinya bisa mengajar. Tentu saja, selain karena kesempatan mengajar itu, hal yang paling penting dan menarik buat saya adalah bahwa semuanya gratis! Akhirnya, setelah melalui sejumlah rangkaian tes, bersaing dengan lebih dari 200 orang pendaftar, Aku akhirnya menjadi salah satu dari 29 orang yang terpilih. Alhamdulillah Aku tersesat di jalan yang benar (Aku harus menulis khusus cerita tentang ini nanti). Selama hampir 2 bulan di Pare, (akhirnya) bertemu orang-orang yang baru, belajar lagi dengan rutinitas sehari-hari yang benar-benar baru, semakin membuatku sadar bahwa kita selalu butuh keluar dari zona nyaman. Bumi Allah terlalu luas, untuk kita hanya menetap di salah satu bagian kecilnya saja. Pada titik yang lain, bahkan di tempat yang sama pun, kita butuh untuk terus menemukan batasan-batasan baru dalam diri kita, agar kita bisa terus "berhijrah" menjadi semakin baik dari waktu ke waktu. Pada akhirnya, hakikat "hijrah" yang sebenarnya adalah bagaimana semakin hari Aku berusaha memaksa diriku untuk mengingat-Nya, menyadari bahwa apa yang kita jalani adalah berdasar pada kehendak-Nya, maka libatkanlah Dia, memohonlah kepada-Nya, mendekatkan dirilah kepada-Nya. -Pare, Mei 2018
2 Comments
Z
2/28/2019 03:16:43 pm
I fond of this one 👍👍👍
Reply
Retmiardilla
2/28/2019 10:26:22 pm
Wow, thanks! That means a lot! ?
Reply
Leave a Reply. |
Author:Retmi Ardilla Archives
March 2019
Categories |