"Because we do complain too much about this life" Beberapa waktu terakhir, aku terus terganggu dengan pikiran-pikiran tentang yang satu ini. Don't know how to tell this story, but it is really heartbreaking for me. I couldn't help crying every time I got reminded about it, tbh. So I decided to write this. I definitely have to write about this story, at least as a reflection of myself, so that I can worry less about this. About him.
Tentang seorang sahabat. Sahabat baik, partner diskusi yang asyik, juga cerdas. Dia anak lelaki sulung di keluarganya. Namanya Wira. Di usia yang ke 18, tepat setelah kelulusan SMA, dengan hiruk pikuk tes masuk universitas yang melelahkan, Wira harus menghadapi apa yang menurutku tidak semua dari kita bisa melewati kondisi seperti itu sekuat dia... Saat itu Wira siap untuk ikut tes masuk di salah satu kampus pilihannya di Kota Pelajar—yang jaraknya dua pulau di seberang kampung halaman. Selain memang pilihannya untuk merantau ke kota ini, itu juga jadi rencana papanya sejak beberapa tahun silam. Singkat cerita, Wira telah mendaftar untuk tes bersama masuk PTN (tentu saja dengan PTN di Kota pelajar sebagai pilihan pertamanya), juga tes tulis di beberapa PTS di kota tersebut—dengan hanya satu pilihan jurusan yang paling dia mau: Teknik sipil—Jurusan impian papanya. Anyways, kita pasti tahu, drama klasik orang tua-anak perkara pilihan jurusan kuliah bla bla bla, apalagi untuk anak sulung, biasanya dramanya lebih berbelit-belit. Tapi untuk kasus Wira, berbeda. Wira memilih jurusan itu sendiri, bukan karena paksaan orang tuanya. Tapi memang, Wira sangat mirip dengan papanya. Saat itu, papanya sakit keras dan tengah dirawat di ICU. Wira bahkan berangkat untuk ikut tes waktu keadaan papanya semakin lemah dan harus dirujuk ke kota sebelah untuk perawatan lebih intensif. I have to say, he is really tough person. I could repeat this as much as I can, karena memang dia sekuat itu. Dengan kondisi demikian, di usianya yang baru segitu, Wira sanggup untuk terlihat sangat-sangat tenang. Walaupun aku tahu, Wira sebenarnya selalu tidak bisa tidur setiap harinya. Terlalu berat yang harus dia pikirkan, memang. Baru hari ke sekian Wira di kota ini, tiba-tiba mamanya menelepon bahwa Wira harus pulang—berarti Wira belum tentu bisa ikut tes tulis yang jadwalnya masih seminggu lagi. Mamanya memang tidak berkata banyak, tapi Wira tahu betul apa artinya itu: kondisi Papanya makin parah. Wira pulang keesokan harinya dengan flight sore. Alhamdulillah, pagi itu Wira telah lulus tes komputer/ Computer Based Test (CBT) untuk jurusan teknik sipil di salah satu PTS pilihannya. Bagi orang-orang paling, "ah PTS doang". Tapi saya tahu betul, betapa bahagianya Wira saat itu. Apalagi, beberapa temannya malah tidak lulus di tes yang sama, padahal telah lebih dulu ikut tes dan bahkan lebih dari sekali, tapi belum juga diterima. PTS itu memang salah satu PTS yang punya nama besar di Indonesia. Alhamdulillah. Yang paling penting adalah, itu impian papanya. Setidaknya dia punya oleh-oleh kabar baik yang sangat ditunggu-tunggu papanya. Salah satu yang membuatku sangat terharu hari itu adalah, karena papanya dulu termasuk mereka yang (maaf) 'kurang beruntung', sehingga tidak sempat merasakan bangku perkuliahan. Pasti bahagia sekali mendengar kabar bahwa anaknya diterima kuliah di jurusan impian. Sore itu, Wira kembali ke keluarganya, di rumah sakit di mana papanya dirawat. Tidak sempat istirahat, langsung saja Wira gantikan mamanya, duduk di samping papanya. Menyampaikan kabar baik itu. Walaupun hanya bisa mengangguk, tersenyum dan meneteskan air mata, mereka semua tahu betapa bahagia papanya mendengar kabar tersebut saat itu. I can imagine that. ...Kemudian, tidak lebih dari 3 jam setelah itu, papanya menghembuskan napas terakhir. Inna lillahi wa inna ilaihi rojiuun... Tengah malam kira-kira pukul 12.35 hari itu, Wira menelepon dengan suara terisak. Mengabari kami tentang kepergian papanya. I still remember how hurt it was, when I heard he cried. a lot. I still remember how it feels. We all cried a lot that night. Wira, di usianya yang ke 18, baru lulus SMA, di tengah hiruk pikuk tes masuk universitas yang melelahkan. Dia harus kehilangan papanya. Satu-dua minggu setelah itu, Wira masih di kampung halaman. Melewatkan beberapa jadwal ujian tes masuk PTS dan PTN yang sudah terdaftar namanya disana. "Saya akan masuk ke Universitas yang Papa masih sempat tersenyum ketika dengar bahwa saya diterima di situ", Begitu katanya. "Saya akan kuliah di sana". I still remember how hard he cried that night. Tapi itu pertama dan terakhir kali aku mendengarnya menangis, sampai hari ini. Padahal menurutku, rasanya cobaan yang harus diterima Wira terlalu berlebihan, terlalu bertubi-tubi, terlalu berat untuk ukuran remaja seumurannya. "Udah cukup saya nangisnya", begitu katanya ketika kami tanya kenapa dia bisa-bisanya terlihat begitu tenang. *** Sudah 6 bulan berlalu, dan Dia hampir tiba di akhir semester pertamanya sebagai seorang mahasiswa teknik sipil di kota pelajar. ...Kami berangkat dari kosannya malam itu. Driver taksi online yang mengangkut kami sempat nyeletuk "mau minggat ya mas, mbak?", waktu melihat barang-barangnya saat dimasukkan ke bagasi mobil. Wira, di usianya yang ke 18, baru saja menikmati betapa excited nya semester pertama di kampus pilihan dengan jurusan impiannya—akan pindah, kembali ke kampung halaman. Kuliah di sana. Tetap di jurusan yang sama, mungkin. We never know. Intinya, dia harus meninggalkan kota pelajar. Meninggalkan salah satu Impian papanya. Financial issues, ironis memang. Mau tidak mau Wira harus "mengalah" untuk hal ini. Mamanya yang sekarang sendirian, dengan Wira dan adiknya yang tahun depan akan masuk SMA membuatnya terpaksa harus memilih. Tidak hanya sebatas mengencangkan ikat pinggang, tapi membantu meringankan beban mamanya. Maka pulang ke kempung halaman adalah solusinya. Kuliah di sana, di mana ada banyak keluarga yang masih bisa membantu, sembari bekerja, tentunya. Keluarga besar ternyata sudah mendiskusikan pilihan yang pada akhirnya 'harus' Wira pilih itu. Hari itu, dia meninggalkan kami. Meninggalkan Kota Pelajar yang menjadi kota rantau idamannya. I know him so well, betapa bangga dan bahagianya nya Wira bisa berkuliah di kota ini. Bagi orang-orang seperti kami, merantau ke Tanah Jawa adalah kebanggaan besar. Dan Wira terpaksa harus melepaskannya. Sesungguhnya aku benar-benar tidak ingin meneteskan air mata lagi saat mengantarnya ke bandara, tidak di depannya. Tapi aku benar-benar tidak bisa menahannya, meskipun otakku sekuat tenaga berusaha agar kelenjar air mata bisa mengalah setidaknya untuk saat itu. Begitupun adik-adikku, juga sahabat-sahabat Wira yang ikut mengantar. Aku tahu Wira pun sama, makanya dia benar-benar tidak menoleh sama sekali saat itu, tidak sampai dia benar-benar masuk dan memastikan kami tidak melihat jelas wajahnya kecuali lambaian tangannya dari jauh. Again, remember about him always breaks my heart. It hurts me, so much. Dan melihat Dia yang sangat-sangat tenang dengan semua itu, it even hurts me more. Really. Bukan karena aku mengasihani Wira atau menyalahkan keadaan, tidak. Wira adalah orang yang tahu apa yang dia mau, dan siap menerima konsekuensi untuk itu. So I don't have to worry about him, actually. Entah karena aku yang mengaggap Wira masih terlalu muda, atau karena aku merasa tidak punya kesempatan memberikan bantuan apapun untuk posisinya, mungkin juga karena aku merasa ditampar, betapa kurang bersyukurnya aku yang terlalu sering mengeluh selama ini. Allah telah berencana. Dia tidak akan memberikan cobaan melebihi batas kemampuan hambanya. We knew it. Bahwa beberapa hal dalam hidup ini berada diluar kendali kita. Seberat apapun itu, yang kita harus lakukan adalah menerimanya dengan tenang, sehingga setidaknya kita dapat berpikir jernih tidak hanya dari satu atau dua sudut pandang saja, dengan itu kita yakin punya keputusan yang bijak. Semoga kita semua termasuk mereka yang selalu tenang, dan dapat menghadapi segala cobaan-Nya dengan tabah dan bertawakkal. aamiin. -Yogyakarta, November 2017
0 Comments
Leave a Reply. |
Author:Retmi Ardilla Archives
March 2019
Categories |