Seorang wanita terbaring lemah di kasur busa berukuran single, di kamar kos standard dengan ukuran 3x4 meter, tempat tinggalnya.
Terdapat televisi tabung di atas meja kecitepat di sebelah kanan kasur, sedang menayangkan talkshow hipnotis yang terkenal dari salah satu Stasiun TV nasional. Tidak ada buku di meja kecil dengan beberapa rak itu, hanya ada beberapa benda yang tidak tertata: gunting, gunting kuku, sisir, sebungkus rokok yang isinya kira-kira tidak cukup setengahnya, beberapa nota pembelian, kwitansi pembayaran kamar kos tiga bulan terakhir dan uang kertas juga koin-koin yang berserakan, bungkus nasi goreng telur kemarin malam yang belum sempat dibuang, serta barang-barang kecil lainnya. Di seberang kasur, tepat di hadapan telapak kakinya, diletakkan sebuah lemari berpintu dua yang tingginya kira-kira tingginya sedagunya. Isi lemarinya, tentu saja acak-acakan. Sementara itu, di bagian kasurnya, seperti yang sudah bisa dibayangkan. Beberapa pakaian bekas pakai, obat-obat yang sudah keluar dari plastiknya, remote tv, telepon pintar Samsung produksi tahun 2012an, sarung bermotif kotak-kotak warna biru yang buluk, juga sepasang bantal dan guling. Semuanya tergeletak tidak beraturan. Tidak banyak yang yang bisa di deskripsikan dari keadaan kamarnya dengan perabotan super minimalis-tapi-berantakan itu. Sedikit bergeser ke bagian agak dalam kamar, sepetak kamar mandi kecil seukuran 1.5x1.5 meter bersebelahan dengan dapur kecil pribadi berukuran sama. Kamar mandi yang tidak rutin dibersihkan itu pengap sekali, hanya ada satu lubang persegi yang dibagi lagi menjadi empat lubang seukuran tiga jari, sebagai tempat sirkulasi udara. Di dapur mininya, hanya ada kira-kira tiga piring dan dua mangkuk, kemudian setumpuk sendok dan 3 gelas plastik di satu baskom berukuran sedang, dalam keadaan kering. Sepertinya minggu lalu terakhir kalinya dia mencuci perabot dapur. Lalu terdapat beberapa sachet kopi hitam instant dan mie instant, persediaan dapur anak kos pada umumnya, dalam versi lebih minimalis. Yang paling mencolok adalah satu kompor minyak tanah jadul berukuran kecil dengan wajan ukuran sedang berisi seperempat sisa rebusan air tempo hari. Wanita berusia 30-an itu hidup sendiri, belum bersuami. Sudah lebih dari dua minggu dia terpaksa minta izin dari tempat kerjanya—swalayan milik teman sebangkunya semasa SMA, sebab tengah sakit keras. “Gangguan jantung kronik akibat psikosomatis”, begitu kata dokter waktu dia berobat ke salah satu rumah sakit umum di kota kecil itu. *** Tiga hari berselang, wanita itu masih terbaring di kasur dengan posisi yang sama. Seorang perempuan paruh baya, ibunya—tiba-tiba mendobrak pintu yang ternyata tidak terkunci dengan wajah pucat. Semalam ibunya bermimpi aneh, tidak ada siapa-siapa selain bayangan anaknya—wanita itu—dan suara-suara yang tidak kalah aneh: “Katanya dia pencuri, gausah temenan sama dia”, “Katanya dia sombong loh, mending jangan deket-deket dia deh”, “Katanya hidup di sana ga enak, apa-apa susah”, “Katanya sekolah di situ sulit, udah mahal, seniornya kejam”, “Katanya tetangga kita galak, lebih baik jangan ngomong sama mereka”, “Katanya ayahmu malu denganmu, kamu sudah dewasa, harusnya jadi orang sukses”, “Katanya kerjaan yang itu susah, seleksinya aja berlapis-lapis”, “Katanya kamu diomongin tetangga, tidak apa-apa kerja seadanya, daripada jadi pengangguran”, “Katanya dia jahat”, “Katanya dia bau”, “Katanya produk itu bahaya”, “Katanya barang di toko itu mahal”, “Katanya makanan di situ gaenak”, “Katanya ini...” “Katanya itu...” “Katanya...” *** Katanya, wanita itu telah tiada sejak dua hari yang lalu... #30haribercerita #30hbc1902 @30haribercerita
0 Comments
Leave a Reply. |
Author:Retmi Ardilla Archives
March 2019
Categories |