Tulisan ini salah satunya terinspirasi dari video IGTV emak @bellarosaily yang sangat memotivasiku hari itu.
Sebelumnya aku harus memberi disclaimer bahwa bicara tentang topik ini, aku bukan ahli dalam hal psikologi yang secara teori membahas tentang masalah gejolak mental bla bla bla… hehehe tapi aku percaya, sedikit banyak pengalamanku dalam menghadapi fase quarter-life crisis di hidupku sendiri adalah sesuatu yang layak ditulis di sini, agar bisa menjadi referensi buat teman-teman semua, terutama yang saat ini tengah berada dalam fase yang sama. Disclaimer kedua adalah bahwa aku (yang sekarang) juga bukan orang yang sudah benar-benar matang secara mental. Aku yakin, aku nantinya bakal tetap merasakan naik turunnya motivasi, emosi yang tidak terkontrol dan hal-hal semacamnya, berjuang untuk bisa bijak menghadapi berbagai macam gejolak semacam itu. I am exactly still an imperfect human being who will still always need to struggle controlling my psychological and mental factor whenever I find some emotional issues in myself. Tentang Quarter-life Crisis Ada yang baru baca istilah ini? Silakan boleh cari informasi lebih lanjut lewat Om Google, tapi secara umum, begini penjelasannya: Jadi sesuai namanya, fase ini kurang lebih terjadi di periode seperempat umur kita. Rata-rata manusia hidup antara 70-100 tahun, berarti fase seperempatnya adalah di sekitar usia 20-an. Kalau kamu sekarang berada di rentang umur ini, dan merasa dirundung galau luar biasa karena alasan-alasan wajar seperti pilihan jurusan dan universitas, pekerjaan, jodoh, masa depan, belum lagi perkataan orang-orang yang tidak ada habisnya, dan hal-hal semacam ini, berarti kamu sudah memasuki masa-masa krisis di usia seperempat hidupmu. Di fase ini, seakan-akan hidupmu adalah yang paling tidak beruntung. Ketika scrolling timeline atau story instagram misalnya, dan melihat kehidupan teman-temanmu yang ‘rasanya’ sudah sangat jauh lebih bahagia dibanding kamu. Kuliah di PTN idaman dengan jurusan favorit; Pekerjaan yang linear dengan jurusan di Instansi besar atau perusahaan terkenal; Jodoh mapan dan kehidupan keluarga baru yang bikin baper; Bisnis yang lancar dan ramai peminat; Hidup bebas di usia remaja-dewasa muda tanpa berbagai tuntutan lingkungan; ...dan masih banyak lagi potret standar kehidupan ideal yang jika dibandingkan dengan hidupmu, rasanya makin mengecilkan posisimu di rentang umur yang memang sangat rentan ini. Pemicunya? Banyak. Ada faktor biologis, lingkungan, dan tentunya juga psikologis. Tapi yang paling penting menurutku, adalah trigger yang datangnya dari segi mental, karena pada umumnya ini dibuat-buat oleh diri kita sendiri. Weh, gimana tuh? Jadi gini, kalo kata orang bijak, “Hidup itu pilihan”, sama juga dengan kasus ini. At the end of the day, kita sendiri yang memutuskan, mau pilih untuk terus berlarut-larut dalam sulitnya fase itu, atau berusaha keluar dari lingkarannya. Wadaw, udah macam Om Mario Teguh aja yakan ane. Hahahaha Tapi ini serius, guys. My very own experience on struggling with my quarter-life crisis Kalau kamu pembaca setia blog ini, pasti sudah sempat baca tulisanku tentang Hijrah dan Zona Nyaman (Kalau belum baca, silakan klik disini) Di tulisan itu, kurang lebih bisa dilihat salah satu bagian penting dari fase quarter-life crisis ku. Tapi singkatnya, Aku menemukan turning point dalam hidupku dan akhirnya berani mengatakan bahwa I’ve passed that freakin’ crisis adalah di Bulan ini, setelah umurku tepat 24 tahun. Setelah harus dirawat karena terserang DBD selama seminggu (Silakan baca ceritanya di sini), seminggu kemudian aku masih berjuang dengan pikiran-pikiran liar yang rasanya justru semakin mengkerdilkan diriku sendiri. Aku kehilangan rasa percaya diri, dan bahkan merasa tidak punya motivasi untuk melanjutkan masa depan. Wajar sih, aku yang biasanya dipenuhi aktivitas dari pagi sampai malam dan selama bertahun-tahun alhamdulillah belum pernah merasakan sakit keras, tiba-tiba harus mendekam seminggu di Rumah Sakit, tidak bisa melakukan apa-apa—justru merepotkan orang-orang disekitarku. Selesai opname, aku merasa diriku begitu desperate dan sangat sangat tidak berguna. “Apa yang sudah kamu kasih ke orang tuamu di umur segini?” “apa kamu sudah cukup berguna buat orang-orang di sekitarmu?” “mau jadi apa kamu nanti?” “coba liat, teman-temanmu di umur segini sudah punya kehidupan yang mapan!” “bayangkan apa kata orang-orang tentang kamu yang hidupnya gini-gini aja!” Pertanyaan-pertanyaan yang terus membombardir di kepalaku kurang lebih selama 2 minggu itu, membuatku seperti mayat hidup. Demi apapun, waktu itu aku hidup dengan sangat ga jelas. Fisikku yang masih sangat lemah, jadi makin payah lagi gara-gara otakku yang tidak berhenti dengan pikiran-pikiran yang jauh lebih ga jelas. Sempat curhat ke beberapa sahabat, kemudian kudapat beberapa solusi yang menurutku sangat membantuku saat itu. Salah satu sahabat mengirimkan video motivasi (hehe, bisa dibayangkan, se-menyedihkan apa aku saat itu), kemudian ini beberapa kalimat mereka saat sharing: "Baca quran dil" "Coba tahajud, rutin seminggu. Bukan untuk minta sesuatu, tapi biar bisa lebih tenang". "Istirahatkan pikiranmu. Kamu kebanyakan mikir. Coba cari cara refreshing". "Kamu punya hobi apa? Coba lakukan hobimu tanpa mikir apa-apa yang bisa membebani kamu". "Sekali-kali kita butuh lupa sama hal yang serius. Kamu orangnya terlalu pemikir". "Kamu butuh tantangan baru. Posisi yang sekarang mulai nyaman. Gimana kalo kamu pulang dulu? Tinggalkan Pare, keluar dari zona nyaman. Lagipula kamu masih butuh recovery" Kalimat-kalimat itu terasa nyelekit karena benar adanya. Guys, if you're reading this, I really want to say that I'm so grateful having such really good friends like y'all. I really mean it. Thanks a million. Sampai akhirnya, pagi ini tiba. Tepat 2 minggu sejak hari pertama aku sakit, aku jogging dengan salah satu sahabat. Entah kenapa aku seperti menemukan ilham. This morning, I finally gained my spirit back. Aku akhirnya tahu, apa yang akan aku lakukan untuk hidupku. Masa depanku. I'm sure I never been this excited. Ever. Even I was shaking while crying yet smiling, thinking that I’ve exactly got what I really want to do. Mungkin aku sudah menemukan jati diri. Entahlah apa namanya ini. Rasanya banyak sekali yang ada di kepalaku, tapi aku justru sangat bahagia dan ingin segera menuliskannya satu per satu agar tidak lupa. Aku sudah punya gambaran jelas, apa yang akan kulakukan untuk seminggu, sebulan, setahun, bahkan beberapa tahun ke depan dan rasanya sangat sangat rinci. Anehnya, aku seperti orang jatuh cinta, senyam-senyum sendiri seperti ingin cepat-cepat menyambut besok, lusa, dan seterusnya demi segera melakukan semua rencana itu. Luar biasanya, Aku tidak takut gagal sama sekali. Aku tidak khawatir orang-orang akan menilaiku bagaimana dengan pillihan yang akan kuambil. Aku merasa penuh motivasi. Allah itu memang baik banget, guys. Baiiiiik banget. OMG I can’t stop crying writing this out. I hope you guys can see how blessed I feel I am through reading this huhuhu I don't know how to exactly depict it in this post. Hari ini, ku telepon Mama, Tante yanti, Papa, Dina, sahabatku Pink, kuceritakan semuanya, tapi itupun belum terasa cukup untuk mengungkapkan betapa excited nya aku. Kemudian kutuliskan rencana-rencanaku itu biar tidak lupa, termasuk tulisan ini. Itupun masih belum cukup karena rasanya banyaaak sekali yang ada disini!!! *nunjuk kepala* Aktivitas hari ini sama seperti hari-hari biasa, tapi sepertinya sangat luar biasa. Aku masih senyam-senyum sendiri sambil terus gemetaran, dan kadang berkaca-kaca saking bahagianya. Again, I can confidently say that I’ve passed that FREAKIN’ period of life! Jadi gimana caranya? Intinya adalah bahwa tidak ada yang instan, termasuk proses kita melewati fase ini. Menurutku, proses yang kulewati juga tidak terjadi hanya saat aku diberi rejeki sakit kemarin. Semua keputusan yang telah aku buat, termasuk masalah-masalah yang sempat kutemui selama ini, terutama setahun ke belakang saat aku mulai merasa bisa berdamai dengan diri sendiri adalah, bagian dari prosesnya. So these are the points (that may seem cliche but) really worked on me. Here we go: 1. Kenali sindromnya. Ketahui kapan kamu mulai merasa bahwa ada sesuatu yang tidak wajar yang kamu lakukan dalam menyikapi sesuatu di kehidupanmu. Misal ketika kamu memutuskan untuk menge-mute Instagram story seorang teman karena merasa tersudutkan setiap kali melihat postingannya. Fyi, aku pernah melakukan ini karena menghindari sirik dan minder dengan kehidupan sahabat dekatku, hehe. Ada yang kayak gini juga? Sekarang, tentu aku sudah insaf wkwk. Justru bahagia saat ini rasanya melihat hasil dari usaha teman-teman terdekatku, akhirnya mulai berbuah manis dengan pekerjaan yang mapan dan lain sebagainya. 2. Keluar dari zona nyaman. Menurutku, sering-sering memaksa diri kita untuk mencari tantangan baru adalah usaha untuk hidup lebih bahagia. Tantangan baru dengan orang-orang baru, selalu memberikan hikmah dan pelajaran baru yang bisa kuambil dan kujadikan bahan evaluasi untuk diriku sendiri. Hasilnya adalah diriku yang bisa lebih mudah bersyukur. 3. Nikmati proses. Salah seorang sahabat pernah bilang "Bahkan mie instan pun butuh proses". Jadi memang kita harus sabar. Akan ada saatnya kita bakal bersikap bodo amat dengan segala macam omongan orang, akan tiba waktunya kita merasakan efek dari usaha kita untuk dealing with this crisis. Just enjoy the process. 4. Kenali diri lebih dalam. Karena aku tipikal orang yang hobi mikir dan cenderung pelupa, Aku hobi menulis apapun yang terlintas di kepalaku. Kemudian aku sadar, bahwa menulis adalah salah satu terapi terbaik. Aku bisa mengevaluasi diriku sendiri dengan membaca apa yang sudah kutulis sebelumnya. Apalagi, menulis adalah salah satu hobiku. Jadi, dengan melakukan sesuatu yang kusenangi, ternyata aku bisa semakin mengenali diriku sendiri. Kalau kamu kurang suka menulis, coba temukan cara lain yang lebih cocok. Jangan lupa, termasuk proses dalam menemukan caranya pun tidak instan. 5. Berdamai dengan diri sendiri. Kalau kita sudah berusaha mengenali diri sendiri lebih dalam, mulailah mencoba berdamai. Di kasusku, poin yang satu ini memang tidak mudah. Bertahun-tahun aku menyalahkan diri sendiri dan merasa insecure karena ekspetasi tinggi orang-orang disekitarku, dengan aku yang tidak bisa meraih cita-cita menjadi dokter duluuu sekali. Hehe. Aku bahkan sempat terlibat konflik dengan papa selama kurang lebih sebulan. Aku paham, perasaan papa yang benar-benar ingin anaknya meraih apa yang memang dicita-citakan. Tapi saat itu aku juga benar-benar down. Jadilah aku dan papa perang panas-dingin di rumah sampai akhirnya aku kembali ke perantauan, dan kami menangis sejadi-jadinya menyesali sikap yang terlalu emosional. Saat itu aku sadar bahwa papa sesayang ituuuu ke anaknya iniiii. Huaa. I'm cryin right now guys. Papa, Insya Allah Dilla tidak mo kase kecewa papa. (I wish my dad could read this) Pada akhirnya, aku benar-benar telah move on dari jurusan itu dan semakin memahami esensi usaha, doa, juga takdir. Aku akhirnya berdamai dengan diriku sendiri. 6. Berhenti membandingkan diri dengan orang lain. Aku sangat merasakan bahwa poin ini adalah salah satu poin utama yang membantuku terbebas dari quarter-life crisis. Aku bahkan sempat melakukan aksi "Diet Sosmed" selama kurang lebih 3 bulan sebagai terapi untuk berhenti minder dan membandingkan diri sendiri dengan orang lain, apalagi mendengarkan komen-komen jahat orang-orang di sekitarku. Tips yang satu ini sangat wajib di coba menurutku. hehe. 7. Temukan passion. Poin yang satu ini adalah salah satu yang paling sulit menurutku. Butuh waktu sekitar 2 tahun buatku untuk menemukan bahwa aku adalah tipikal orang yang cenderung akan lebih stress ketika bekerja di lingkungan kantor, dibanding saat bekerja mobile di lapangan. Aku lebih menikmati pekerjaan yang mengharuskanku bertemu dengan lebih banyak orang yang berbeda setiap waktu dan berinteraksi lebih banyak dengan mereka. Melakukan hal yang lebih fleksibel. Salah satu cara menemukan passion menurutku adalah dengan cara re-consider: What is your goal? What kind of occupation that you would do the whole of ur life, even without getting paid? What makes you happy? Yang perlu diingat perihal ini, bahwa kita butuh menentukqn NIAT BAIK dan TUJUAN yang JELAS untuk hidup kita hingga maut menjemput nantinya. (Wadaaaw berat kali kata-kata ane) 8. Libatkan Allah. Aku beruntung berada di lingkungan di mana selalu ada yang mengingatkanku tentang Allah, setiap kali aku merasa galau luar biasa. Poin yang satu ini sangat sederhana dan klise, tapi sangat terasa efeknya. Ketika hidup rasanya suliiit, mencoba berkomunikasi dengan yang ngatur kehidupan ini adalah pelarian paling tepat. Coba introspeksi, mungkin sholat kita masih kurang bener, kayaknya baca kita Qurannya masih kurang paham maknanya, atau sepertinya kita butuh lebih banyak sedekah. Sering-sering minta ampun dan berdoa ke Dzat yang menciptakan kita, adalah terapi paling efektif menurutku. Sekian dulu tulisan kali ini, maaf kalo bacanya bikin pegel. Selamat, anda telah membaca postingan saya yang totally terdiri dari 2051 kata! WOW! Satu hal kecil yang patut disyukuri hari ini, kan! he he I hope you can find some positive energies that I tried to give through this article. No matter how hard it is, I believe you guys can pass this crisis :) Semoga berhasil! Anyway, would be so glad if you guys kindly share your own story through this comment section below. Aku penasaran dengan cerita quarter-life crisis kalian. Apakah kamu yang tengah berjuang, atau mungkin kamu yang juga sudah berhasil melewati fase ini. Kalau kamu coba terapkan poin-poin di atas, aku juga penasaran dengan pengalaman unikmu. silakan share ceritamu di bawah, ya! Aku percaya selalu ada pelajaran di balik semua yang terjadi di hidup kita. Cheer up!
2 Comments
|
AuthorRetmi Ardilla Archives
April 2019
Categories |